BELAJAR, MEMORI , DAN
PENGETAHUAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI DAN AGAMA
1. PERSPEKTIF PSIKOLOGI
Pada umumnya para ahli psikologi pendidikan khususnya
mereka yang tergolong cognitivist (ahli
sains kognitif) sepakat bahwa hubungan antara belajar, memori dan pengetahuan
itu sangat erat dan tidak mungkin dipisahkan. Memori yang biasanya kita artikan
sebagai ingatan itu sesungguhnya adalah fungsi mental yang menangkap informasi
dari stimulus, dan ia merupakan storage
system, yakni sistem penyimpanan informasi dan pengetahuan yang terdapat di
dalam otak manusia.
Menurut Bruno (1987), memori ialah proses mental yang
meliputi pengkodean, penyimpanan, dan pemanggilan kembali informasi dan
pengetahuan. Bagaimana hubungannya dengan belajar ? Anda dapat mengetahui dari
contoh berikut ini.
Apabila
siswa Anda menerima pelajaran tentang Muhammad yang diutus Allah sebagai nabi
akhir zaman, mula-mula informasi tentang nabi terakhir ini akan masuk ke dalam short term memory atau working memory (memory jangka pendek) melaluai
indera mata atau telinga siswa tersebut. Kemudian, informasi mengenai Rasul
Allah itu diberi kode misalnya dalam bentuk symbol-simbol huruf
M-U-H-A-M-M-A-D. Setelah prosese pengkodean (encoding), informasi itu masuk dan
tersimpan di dalam long tern memory atau permanent memory yakni memori jangka panjang atau permanen.
Suatu
saat kelak, apabila siswa Anda tadi memerlukan informasi mengenai nabi akhir
zaman itu, misalnya untuk menjawab pertanyaan Anda, maka memorinya akan kembali
bekerja atau berproses mencari respons dari kumpulan item-item informasi dan
pengetahuan yang terdapat dalam salah satu skema yang relevan. Skema (skema
kognitif) adalah semacam file yang berisi informasi dan pengetahuan sejenis
seperti linguistic schema untuk
memahani kalimat cultural schema
untuk memahami kalimat; cultural schema
untuk menafsikan mitos dan kepercayaan adat; dan seterusnya. Skema-skema ini
berada dalam sebuah kumpulan yang disebut schemata atau schemas (jamak dari schema) yang tersimpan dalam subsistem akal
permanen manusia. Jadi, kita analogikan dengan kompoter, schemata itu kurang-lebih
setara dengan harddisk yang berisi file file yang memeliki kode-kode dan isi
yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Kalau kita memerlukan informasi
mengenai sesuatu, kita cari nama file yang relevan dari direktori computer
untuk memperlihatkan informasi tadi melalui layar monitor.,
Proses
pencarian respons yang dilakukan siswa Anda untuk memperoleh jawaban mengenai
nabi akhir zaman tadi, jika sukses maka ia berkata “Muhammad”. Inilah peristiwa
kognitif yang disebut recall atau retrieval, yakni hal memperoleh kembali
informasi/ pengetahuan yang terstuktur dalam sistem schemata (skema-skema) yang
terdapat dalam ranah cipta siswa Anda.
Menurut
Best (1987), setiap informasi yang kita terima sebelum masuk dan diproses oleh
subsistem akal pendek (short trem memory)
terlebih dahulu disimpan sesaat atau tepatnya lewat, karena hanya dalam waktu
sepersekian detik, dalam tempat penyimpanan sementara yang disebut sensory memory alias sensory register yakni subsistem
penyimpanan pada syaraf indera penerima informasi. Dalam dunia kedokteran
subsistem ini disebut “syarat
sensori” yang berfungsi mengirimkan
implus ke otak.
Dengan
demikian, struktur sistem akal manusia terdiri atas tiga subsistem, yakni: sensory register, short trem memory dan long term memory. Istilah memori dalam
hal ini lazim juga disebut “storage” atau tempat penyimpanan informasi.
Ragam Pengetahuan dan
Memori.
Ditinjau
dari sifat dan cara penerapannya, ilmu pengetahuan terdiri atas dua macam,
yakni: derlarative knowledge lazim
juga disebut propositional knowledge (Evans,
1991).
Pengetahuan deklaratif atau pengetahuan profesisional
ialah pengetahuan mengenai informasi factual yang pada umumnya bersifat
statis-normatif dan dapat dijelaskan secara lisani/ verbal. Isi pengetahuan ini
berupa konsep-konsep dan fakta yang dapat ditularkan kepada orang lain melaluai
ekspresi tulisan atau lisan. Contoh: pengetahuan seseorang siswa Anda mengenai
karburator sepeda motornya. Dia tahu dan dengan fasih dapat menjelaskan bahwa
karbulator adalah sebuah suku cadang yang berfungsi memancarkan bensin dan
mencampurnya dengan udara, lalu memancarkan campuran tersebut ke dalam silender
mesin tepat pada waktu diperlukan. Namun, ketika karburatornya sendiri rusak,
dia tidak tahu cara memperbaikinya agar berfungsi lagi seperti pengetahuan yang
dijelaskan tadi. Mengahadapi situasi sulit semacam ini, tentu dia membutuhkan
orang lain yang berpengetahuan mengenai cara memperbaiki karburator yaki
seorang montir.
Dengan demikian, pengetahuan deklarafif adalah knowing that atau “mengetahui bahwa”. Di
samping itu, oleh karena pengetahuan semacam ini berisi konsep dan fakta yang
bersifat verbal dan dapat diuraikan dengan kalimat-kalimat stetamen
(pernyataan) maka ia juga disebut stateable
concept and fact, yaitu konsep dann fakta yang dapat dinyatakan melalui
ekspresi lisani (Evans, 1991).
Sebaliknya, pengetahun procedural adalah pengetahuan yang
mendasari kecakapan atau keterampilan perbuatan jasmaniah yang cenderung yang
bersifat dinamis. Namun, pengetahuan ini sangat sulit kalau bukan mustahil
diuraikan secara lisan, meskipun suda di demonstrasikan dengan perbuatan nyata.
Oleh karenanya, pengetahuan procedural lazim disebut knowing how atau “mengetahui cara” melakukan sesuatu perbuatan,
pekerjaan dan tugas tertentu. Contoh: kemahiran seorang siswa dalam mengendarai
sepeda. Dia tahu seluk beluk mengendarai sepeda bahkan mampu (lepas tangan).
Pengetahuan yang bersifat keterampilan ini, tetap bertahan dalam diri siswa
tersebut walaupun telah ia tinggalkan bertahun-tahun lamanya. Akan tetapi, jika
ditanya mengapa ia pandai mengendarai sepeda, ia tak mampu menjelaskannya. Dia
tidak tahu alasan kendaran yang hanya beroda dua itu bisa dibelokan ke kiri dan
kanan dan tetap bisa maju meskipun dia tidak memegang stangnya. Dala mhai ini,
meskipun pengetahuan tersebut tersimpan dalam memorinya, siswa tersebut
memerlukan pengetahuan normative mengenai “gravitasi bumi” dan “gaya” yang
membuat keseimangan tubuh ketika mengendarai sepeda, jika hendak menjelaskannya
kepada orang lain.
Selanjutnya, ditinjau sudut jenis informasi dan
pengetahuan yang disimpan, memori manusia itu terdiri atas dua macam, yakni:
1. Semantic memory
(memori semantik), yaitu memori khusus yang menyimpan arti-arti atau
pengertian-pengertian.
2. Episodic memory (memori
episodic), yaitu memori khusus yang menyimpan informasi tentang
peristiwa-peristiwa.
Menurut
Reber (1998), dam metori semantik, informasi yang diterima ditrasformasikan dan
diberi kode arti, lalu disimpan atas dasar arti itu,. Jadi informasi yang kita simpan
tidak dalam bentuk aslinya, tetapi dalam bentuk kode yang memiliki arti.
Seseorang siswa yang memiliki informasi hasil proses semantik seperti itu akan
dapat mempertahankan dan mendayagunakan dalam waktu yang lebih lama dan dalam
situasi yang lebih kompleks.
Sesuai
dengan namanya, banyak ahli yang percaya bahwa memori semantik itu berfungsi
menyimpan konsep-konsep yang signifikan dan bertalian antara satu dengan yang
lainnya. Contoh: Ahmad berkata. “Saya tahu ‘merpati’ adalah jenis burung yang
memiliki ‘sayap’. Dalam kalimat deklaratif ini, merpati selalu mengacu pada
burung, sebab burun merupakan superordinate bagi ungags-unggas sejenis merak,
bangau, kenari, dan seterusnya. Sedangkan sayap adalah karakteristik bagi
burung-burung atau hewan ungags pada umumnya.
Butir
–butir informasi yang terungkap dalam kata burung dan sayap di atas selanjutnya
dapat diberlakukan oleh memori Ahmad untuk menjelaskan arti konsep bangau,
perkutut, dan hewan ungags lainnya yang memiliki superordinat dan karakteristik
serupa dengan merpati. Alhasil, item-item informasi yang tersimpan dalam memori
sematik bersifat dinamisdan dapat diolah dan diaplikasikan oleh akal Ahmad
untuk memahami fenomena lain yang relevan dengan item-item informasi tersebut.
Selanjutnya,
memori episodik adalah memori yang menerima dan menyimpan peristiwa-peristiwa
yang terjadi atau dialami individu pada waktu dan tempat tertentu, yang
berfungsi sebagai referensi otobiografi, (Daehler dan Bukatko, 1985). Apa yang
Anda makan tadi pagi, ke mana Anda pergi kemarin, dan peristiwa apa yang Anda
alami pada hari pertama menjadi guru, dan sebegainya adalah contoh-contoh
informasi yang tersimpan dalam memori episodic Anda.
Hingga
kini masih sulit dipastikan seluk-beluk dan tentang hubungan antara kedua
memori semantik dan episodik itu. Namun, sebagian ahli memperkirakan bahwa
memori episodik mungkin dapat membuka jalan penyimpanan pengetahuan yang
bersifat semantik. Best (1989) berpendapat bahwa antara item pengetahuan
episodik dengan item pengetahuan semantik terdapat hubungan yang memungkinkan
bergabungnya item episodik dalam memori semantik. Dalam hal ini, item
pengetahuan dalam memori episodik dapat diproses/ dimodifikasi oleh sistem akal
kita menjadi item-item yang berbentuk arti-arti sehingga memeroleh akses ke
memori semantik. Diluar kemungkinan proses ini, belum ada keterangan lain yang
lebih akurat mengenai sifat dan cara penggabungan antara memori episodik dengan
memori semantik.
Sementara
itu, menurut teori Adaptive control of
Thought (ATC Theory) yang dikembangkan melalui simulasi computer oleh
Anderson (1976 dan 1983), pengetahuan seorang siswa diasumsikan terdiri atas
elemen-elemen yang tersimpan dalam subsistem akal permanennya dalam bentuk
proposisi-proposisi. Proposisi dalam hal ini berarti unit terkecil yang menjadi
bagian sebuah pengetahuan. Terbentuknya proposisi-proposisi tersebut merupakan
peristiwa kognitif yang abstrak namun dapat digambarkan dalam struktur
kalimat-kalimat pendek.
Sebuah
pengetahuan yang kompleks (yang melibatkan banyak item informasi), umpamanya
pengetahuan Ahmad mengenai kegiatan temannya, Ali, dapat dinyatakan dalam
sebuah kalimat, “Ali membaca buku agama yang dibelinya kemarin”. Pengetahuan
ini dalam memori Ahmad tersimpan dalam bentuk proposisi sebagai berikut.
Ø Ali
membaca buku
Ø Buku
itu tentang Agama
Ø Ali
membeli buku itu kemarin.
INGATAN
(MEMORY)
Ingatan (memory) ialah kekuatan jiwa untuk menerima
menyimpan dan memproduksikan kesan-kesan. Sifat-sifat ingatan :
1.
Cepat, artinya
dalam waktu singkat dapat memahami sesuatu hal tanpa menjumpai
kesukaran-kesukaran.
2.
Setia, artinya
kesan yang telah diterimanya akan disimpan sebaik-baiknya, tak akan berubah,
melainkan tetap cocok dengan keadaan waktu menerimanya.
3.
Teguh, artinya
dapat menyimpan kesan dalam waktu yang lama, tak mudah lupa.
4.
Luas, artinya
dapat menyimpan kesan yang banyak.
5.
Siap, artinya
dengan mudah dapat mrmproduksikan kesan.
Pemahan bahan :
Menurut terjadinya ,
pemahan dapa dibagi dalam 2 macam :
a)
Dengan sengaja,
ialah dengan sadar dan sungguh-sungguh memahami. Hasilnya lebih mendalam dan
luas. Contohnya: memahammi pelajaran sekolah.
b)
Tidak sengaja,
ialah dengan tidak sadar ia memperoleh sesuatu pengetahuan. Hasilnya tidak
mendalamdan tidak teratur.
Menurut cara
memahaminya, pemahaman dapat dibagi dalam 2 macam pula, ialah :
a)
Secara mekanis,
ialah menghafal secara mesin dengan tak menghiraukan apa artinya. Kekuatan jiwa
untuk menghafal secara mekanis disebut: ingatan mekanis, misalnya menghafal
abjad, nama-nama sungai, gunung dan sebagainya. Hasilnya biasanya tidak tahan
lama dan lekas lupa.
b)
Secara logis:
ialah menghafal dengan mengenal dan memperhatikan artinya. Kekuatan jiwa untuk
menghafal secara logis ialah bahan-bahan yang mempunyai hubungan arti. Hasilnya
lebi tahan lama dan tidak lekas lupa.
Adapun untuk menghafal
prosa atau puisi ada tiga cara/ metode :
a)
Metode bulat
(metode G), berasal dari kata Ganzlern-metode, ialah metode menghafal dengan
mengulang berkali-kali dari permulaan sampai habis. Metode ini hanya berlaku
untuk bahan sebanyak 14 baris.
b)
Metode bagian
(metode T), berasal dari Teilern metode ialah menghafar sebagian demi sebagian.
Sedang tiap-tiap bagian dihafal secara metode bulat. Metode ini berguna untuk menghafal
bahan yang banyaknya lebih dari 14 baris.
c)
Metode campuran
(metode V), berasal dari vermit-telende metode, ialah menghafal lebih dahulu
bagian-bagian yang sukar, kemudian selluruhnya dihafal dengan metode bulat.
Metode ini berguna untuk menghafal bahan yang banyak, misalnya satu halaman.
2.
PERSEKTIF AGAMA
Bagaimana pandangan agama khususnya Islam terhadap
Belajar, memori dan pengetahuan? Agaknya tiada satu pun agama, termasuk Islam,
yang menjelaskan secara rinci dan operasional mengenai proses belajar, proses
kerja sistem memori (akal), dan proses dikuasainya pengetahuan dan keterampilan
oleh manusia. Namun Islam,dalam hal penekanannya terhadap signifikansi fungsi
kognitif (akal) dan fungsi sensori (indera-indera) sebagai alat-alat penting
untuk belajar, sangat jelas. Kata-kata kunci, seperti ya’qilun, yatafakkarun, yubshirun, yasma’un, dan sebagai yang
terdapat dalam Al-quran, merupakan bukti betapa pentingnya penggunaan fungsi
ranah cipta dan karsa manusia dalam belajar dan meraih ilmu pengetahuan.
Islam menurut Dr. Yusuf Al-Qardhawi (1984), adalah akidah
yang berdasarkan ilmu pengetahuan, bukan berdasarkan penyerahan diri secara
membabi buta. Hal ini tersirat dalam firman Allah, “maka ketahuilah, bahwa
tidak ada Tuhan kecuali Allah” (Q.S. Muhammad:19).
Selanjutnya, berikut ini penyusunan kutipan firman-firman
Allah dan Hadits Nabi SAW. Baik yang secara eksplisit maupun implisit
mewajibkan orang untuk belajar agar memperoleh ilmu pengetahuan.
1.
Allah berfirman,
… apakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya, hanya .orang-orang yang
berakallah yang mampu menerima pelajaran. (Q.S. Al-Zumar: 9)
2.
Allah berfirman,
Dan janganlah kamu membiasakan diri pada
apa yang kamu tidak ketahui … (Q.S. Al-Isra: 36).
3.
Dalam hadits
riwayat Ibnu Ashim dan Thabrani, Rasulullah SAW. Bersabda, Wahai sekalian manusia, belajarlah! Karena ilmu pengetahuan hanya
didapat melalui belajar… (Qardhawi, 1989).
Ragam
Alat Belajar
Islam memandang
umat manusia sebagai makhluk yang dilahirkan dalam keadaan kosong, tidak
berilmu pengetahuan. Akan tetapi, Tuhan memberi potensi yang bersifat jasmaniah
dan rohaniah untuk belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk kemaslahatan umat manusia itu sendiri.
Potensi-potensi tersebut terdapat dalam organ-organ
fisio-psikis manusia yang berfungsi sebagai alat-alat penting untuk melakukan
kegiatan belajar. Adapun ragam alat fisio-psikis itu, seperti yang terungkap
dalam beberapa firman Tuhan, adalah sebagai berikut:
1.
Indera penglihat
(mata), yakni alat fisik yang berguna untuk menerima informasi visiul;
2.
Indera pendengaran
(telinga), yakni alat fisik yang berguna untuk menerima informasi verbal;
3.
Akal, yakni
potensi kejiwaan manusia berupa sistem psikis yang kompleks untuk menyerap,
mengolah, menyimpan, dan memproduksi kembali item-item informasi dan
pengetahuan (ranah kognitif).
Alat-alat
yang bersifat fisio-psikis itu dalam hubungannya dengan kegiatan belajar
merupakan subsistem-subsistem yang satu sama lain berhubungan secara fungsional.
Dalam surah Al-Nahl: 78 Allah berfirman :
Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahi apa-apa, dan
Dia memberikan kamu pendengaran, penglihatan dan af’idah (daya nalar), agar
kamu bersyukur.
Kata “Af’Idah” dalam ayat ini menurut seorang pakar
tafsir Al-Quran , Dr. Quraisy Shihab, (1992) berarti “daya nalar”, yaitu
potensi/ kemampuan berpikir logis atau dengan kata lain, “akal”. Dalam Tafsi
Ibnu Katsir juz II halaman 580, “af-idah” tersebut berarti akal yang merupakan
sebagian orang tempatnya didalam jantung (qalb). Namun, kitab tafsir ini tidak
menafikan kemungkinan afidah itu ada dalam otak (dimagh).
Demikian pentingnya arti daya nalar akal dalam perspektif
ajaran Islam, terbukti dengan dikisahkannya penyesalan para penghuni neraka
karena keengganan dalam menggunakan akal mereka untuk memikirkan peringatan
Tuhan. Dalam surah Al-Mulk: 10 dikisahkan bahwa :
Dan mereka berkata:
sekiranya kami mendengarkan dan memikirkan (peringatan Tuhan) niscaya kami
tidak termasuk para penghuni neraka yang menyala-nyala.
Sehubungan dengan uraian diatas, bagaimana pula fungsi
kalbu (qalb) bagi kehidupan psikologis manusia? Arti konkrit (bersifat fisik)
qalb menurut Kamus Arab-Indonesia
Al-Munawwir (1984), arti qalb di samping “jantung” juga “hati”. Akan
tetapi, mungkin pengertian hati ini dimasukan karena sudah terlanjur popular
dikalangan penerjemaah kitab-kitab Arab di Indonesia dalam pengertian nonfisik
(yang bersifat abstrak) kamus Arab-Indonesia tersebut mengartikan golb sebagai
al-‘aql (akal); al-lubb (inti; akal); al-zakirah (ingatan; mental); dan
al-quwwatul’aqilah (daya pikir). Bahkan, memilih arti nonfisik akal untuk kata
qalb terasa lebih pas apabila kita memperhatikan firman Allah dalam surah
Al-Araf; 179;
Dan seseungguhnya kami jadikan untuk isi
neraka jahannam kebanyakan jin dan manusia, mereka mempunyai kalbu-kalbu
(akal-akal) tapi tidak digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah.
Kata kalbu-kalbu (qulub) yang dikaitkan dengan aktivitas
“memahami” ayat-ayat Allah (yafgahuna)
seperti tersebut dalam firman tadi, tentu tidak dapat diartikan secara fisik
baik dalam arti jantung maupun hati yang sudah terlanjur salah kaprah itu.
Aktivitas memahami sama dengan aktivitas berpikir kritis yang hanya dapat
dilakukan oleh sistem memori atau akal manusia yang bersifat abstrak. Dengan
demikian, arti kalbu yang realitis ialah “akal” atau “sistem memori” yang
tepatnya di dalam otak, bukan di dalam jantung atau di dalam hati manusia.
Hati, menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah organ
tubuh yang berwarna kemerah-merahan yang terlmfungsietak dibagian kanan atas
rongga perut yang fungsinya untuk mengambil sari makanan dan untuk memproduksi
empedu. Secara nonfisik, kamus tersebut mengartikan hati sebagai tempat
perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian-pengertian. Pengertian nonfisik
yang abstrak menurut KBBI ini sama sekali tidak mengesankan arti ‘tempat’
sebagai sinonim kata hati dalam arti fisik yang kongkrit.
Sehubungan dengan hal itu, perlu Anda ketahui bahwa hati
dalam perspektif disiplin ilmu apa pun tidak memiliki fungsi mental seperti
otak. Oleh karenanya, pengetahuan, keterampilan, dan nilai nilai moral yang
terkandung dalam bidang studi uyang bersangkutan, seyogyanya ditanamkan
sebaik-baiknya ke dalam sistem memori para siswa, bukan ke dalam hati mereka.
Selanjutnya, apa pula arti kata “senang hati” dan “sakit
hati” yang sering kita ucapkan itu? Senang dan sakit hati, seperti juga cinta
dan benci , adalah fenomena ranah rasa (afektif) yang merupakan symptom
(simtom) yang bersumber masalahnya berasal dari file-file memori permanen yang
ada dalam otak kita juga.
Memori yang permanen yang tersimpan dalam otak kita
berfungsi menyimpan informasi, pengetahuan, dan banyak keyakinan (Best, 1989;
Reber, 1988; Anderson, 1990). Selain itu, memori permanen juga dapat berpungsi
sebagai gudang penyimpan “barang-barang rongsokkan” seperti kenagan buruk
terhadap seseorang, barang, dan peristiwa-peristiwa tertentu yang mungkin
berlawanan dengan file, pengetahuan, dan keyakinan kita (skema tertentu dalam
memori kita). Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa aktivitas ranah rasa,
seperti sakit hati tadi ada Hubungannya dengan kondisi ranah cipta. Sedangkan
kondisi fisik hati kita sendiri tentu saja sehat walafiat, kecuali kita sedang
sakit liver.
Walaupun begitupun, istilah sakit hati yang sudah baku
itu tak perlu kita ganti dengan istilah lain dengan sakit otak, sakit akal,
atau sakit memori. Selain tidak lazim dipakai, istilah-istilah ini juga bisa
menimbulkan konotasi-konotasi yang negatif, yakni: geger otak, gila, dan sakit
ingatan.
Sebagai catatan akhir mengenai kalbu yang seyogyanya
dipahami sebagai akal dan bukan hati itu, ialah adanya ketentuan agama yang
melarang orang gila dan bmabuk untuk melakukan ibadah sholat. Orang gila, juga
orang yang mengalami kekacauan ingatan, ingatan misalnya sama statusnya dengan
orang mabuk. Mereka dilarang melakukan sholat karena akalnya tidak menyadari
arti bacaan doa dan doa yang diucapakan. Allah berfirman yang artinya :
Wahai orang-orang yang beriman ,
janganlah kamu mendekati sholat dalam keadaan mabuk sampai kamu mengetahui
apa-apa yang kamu ucapkan (Q.S An-Nisa:43)
Sebaliknya, oorang yang sakit hati (lever complain)
betapapun parahnya tetap dikenai kewajiban sholat selama otak sebagai markas
akalnya itu masih sadar. Ketentuan ini secara implinsit yang menunjukan bahwa
akal dalam kaitanya dengan ibadah, serti juga kaitannya dengan belajar, agar
lebih penting daripada hati atau organ-organ tubuh lainnya.
Referensi:
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar